Kamis, 09 Desember 2021

Stigma Kaum Difabel

 

sumber foto: https://merahputih.com/post/read/disabilitas-bukan-halangan-untuk-5-tokoh-ini-menginspirasi-dunia

Menurut John C. Maxweel difabel adalah individu yang memiliki kelainan fisik dan mental yang dapat mengganggu atau merupakan suatu rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara layak atau normal.
World Health Organization (WHO) menjelaskan, difabel adalah kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis.
Kepercayaan publik untuk penyandang difabel dapat dikatakan sangat kecil. Hal ini dikarenakna mereka memiliki keterbatasan mental dan intelektual sehingga sulit untuk dapat mengerjakan tugas-tugas yang mereka dapatkan.
Faktanya bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan bahwa “setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh Pendidikan”. Dari sini menunjukan bahwa kaum difabel berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya baik dalam pendidikan maupun karir.
Keterbatasan fisik saat ini dipandang sebagai masalah hak asasi manusia. Populasi dunia yang menua dan kondisi Kesehatan yang kronis akan menambahkan jumlah penyandang difabel.
World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 80% penyandang difabel tinggal di negara berkembang termasuk Indonesia, tetapi kebutuhan perawatan medis 59% dari mereka tak terpenuhi. Di seluruh dunia, para penyandang difabbel memiliki Kesehatan yang lebih buruk, prestasi Pendidikan yang lebih rendah, partisipasi ekonomi yang lebih sedikit dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang tanpa keterbatasan fisik. Namun todak sedikit pula kaum difabel yang memiliki prestasi lebih dari orang-orang normal pada umumnya.
Menurut data dari Kemensos melalui Sistem Informasi Manajemen Penyandang Difabel di Indonesia, hingga tanggal 13 Januari 2021, jumlah penyandang difabel yang terdapat sejumlah 209.604 individu.
Stigma masyarakat terhadap difabel sangat beragam, masyarakat menganggap difabel adalah penyakit atau aib yanag akan berdampak pada keluarga. Menjadi orang tua dari anak difabel (diferrent ability) bukanlah perkara yang mudah banyak tantangan dan ujian yang mesti dihadapi. Orang tua biasanya akan melewati beberapa tahap sebelum akhirnya menerima kondisi anak. Berikut ada beberapa tahapan penerimaan orang tua terhadap anak difabel yang dikenal dengan singakatan DABDA (Denial, Anger, Bargaining, Depression, Acceptance) :
1. Denial (Penolakan) tahapan ini hadir karena rasa tidak percaya bahwa dokter memberikan vonis bahwa anak mengalami difabel. Menghadapi hal tersebut, orang tua merasa malu dan bingung terhadap kondisi anak. Jika ada stigma negatif dari lingkungan sosial maka penolakan ini bertambah buruk.
2. Angry (kemarahan) tahapan ini bisa terjadi saat orang tua menyadari penuh bahwa kondisi anak difabel. Orang tua yang marah sehingga melampiaskan kemarahannya pada diri sendiri.
3. Bargining (tawar-menawar) ini merupakan tahapan saat ornag tua berusaha untuk menawar kondisi yang terjadi pada anak.
4. Depression (depresi) pada tahapan ini, orang tua merasa tertekan berputus asa bahkan kehilangan harapan.
5. Acceptance (penerimaan) adalah tahapan akhir yaitu penerimaan utuh kondisi anak. Pada tahap ini, orang tua mulai menerima sepenuh hati bahwa dirinya memiliki anak difabel.
Ada stereotip keliru tentang anak difabel, masih banyak orang yang beranggapan bahwa anak difabel adalah manifestasi dari karma. Keberadaannya dinilai sebagai akibat dari perbuatan dosa yang pernah dilakukan oleh orang tuanya. Ada juga yang beranggapan bahwa anak difabel sebagai keturunan, jadi jika di keluarganya terdapat difabel nantinya akan mempunyai kerturunan difabel pula.
Keterbatasan difabel justru menjadi kelebihan yang tidak dimiliki orang normal. Ada banyak potensi yang dimiliki anak difabel yang ada di Indonesia seperti Habibie Afsyah yang mengalami gangguan motorik menjadi seorang pemasar yang handal dengan memanfaatkan internet. Dari keberhasilan pemasarannya ia berhasil belajar samoai ke Singapura. Kemudian Aida Azizah seseorang yang berhasil melawan keterbatasan dengan menjadi seorang Guru tanpa mengharapkan imbalan sedikit pun.
Dapat disimpulkan bahwa anak difabel adalah anugerah dari Tuhan. Jika merawat anak yang normal membutuhkan pengasuhan ekstra dari orang tua apalagi bagi orang tua yang memiliki anak difabel.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam mngurus anak difabel yaitu perlunya ilmu pengetahuan, pola asuh yang continue anatar orang tua dan anak, motivasi serta semangat dari keluarga serta lingkungan sosial.
Dari data yang dipaparkan di atas, bahwa masih banyak anak difabel yang terisolasi dan terabaikan hak pendidikan dan karirnya. Hal tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab sebagai pemerintah dan orang tua agar lebih meningkatkan perhatian dan dukungan yang lebih baik kepada penyandang difabel. Sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Dasar Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dengan adanya kebijakan tersbeut dapat memudahkan para penyandang difabel dalam beraktivitas sehari-hari dan mampu mengembangkan bakat serta potensi yang mereka miliki. Sehingga kaum difabel bisa mengibarkan prestasi dan membanggakan negara Indonesia baik di kancah nasional maupun Internasional.
Penulis: Gina Alia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar